Ramadhan : Katanya Setan Dibelenggu, Tapi Kok Masih Ada yang Maksiat?
Oleh (Santri Ali Bin Abi Thalib Purbalingga)
Kurangnya pengetahuan kita akan syariat terkadang berimbas dengan ganjaran atau balasan dari ibadah yang kita laksanakan, lebih dari itu, akan berpengaruh pada kualitas ibadah kita.
Ibadah puasa, misalnya, ada kaum muslimin menganggap puasa hanyalah menahan lapar dan dahaga dari semenjak terbitnya matahari hingga terbenamnya matahari, tidak masalah jika jawaban ini terlontar dari anak yang belum baligh yang masih dalam masa pembelajaran, namun menjadi kesalahan yang harus segera di perbaiki ketika istilah itu terlontar dari seorang muslim yang telah baligh, termasuk kita.
Pasalnya ketika definisi itu dibenarkan maka sebagian poin-poin dari puasa itu terabaikan sehingga esensi dari disyariatkannya puasa tidak akan pernah terwujudkan, yakni meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dari titik inilah kita perlu memperbaiki pemahaman kita yang salah tentang syari’at-syari’at Islam, termasuk tentang ibadah puasa di Bulan Ramadhan ini, bulan yang berkah dengan pahala yang melimpah seperti yang disebutkan dalam hadits ganjaran ibadah puasa ada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang akan memberikan ganjaran itu sendiri.
Disebutkan dalam sebuah hadits :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِلَّا الصِّيَامَ، هُوَ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
Dari Abu Hurairah RA berkata : aku mendengar Rasulullah bersabda : “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut untuk ku. Aku sendiri yang akan membalasnya”. (HR. Muslim)
Katanya Setan Dibelenggu, Tapi Kok Masih Ada yang Maksiat?
Secara bahasa shaama-yashuumu artinya al-imsaaku ‘anisy syai’ yakni menahan dari sesuatu baik perkataan ataupun makanan. Dalam Al-Qur’an Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang Maryam.
“Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhanku Yang Maha Pengasih” (QS. Maryam: 26)
Maksudnya Maryam bernazar tidak akan berbicara dengan siapapun.
Adapun puasa yang dimaksud dalam terminologi syari’at adalah menahan diri dari segala hal yang membatalakan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari disertai niat.
Bisa kita pahami bahwa ketika berpuasa kita tidak hanya menahan nafsu makan dan minum kita. Kita juga dibebankan untuk menahan ucapan, perilaku, dan segala tindak tanduk kita agar tidak mengurangi nilai-nilai puasa kita.
Inilah yang sering dilupakan oleh kaum muslimin, banyak dari mereka yang masih tidak mengerti bahwa puasa juga harus menahan hal-hal buruk yang akan keluar dari mulut kita atau hal-hal buruk yang akan kita lakukan.
Mereka lupa jika mereka melakukan kesalahan itu terus menerus maka nilai-nilai puasa akan hilang, dan yang mereka dapatkan hanyalah rasa lapar dan dahaga wal’iyadzu billah.
Sibuk menahan lapar dan dahaga, tidak peduli dengan keburukan-keburukan yang terucap dari mulutnya. Sibuk menahan nafsu makan dan minumnya akan tetapi tiap dia berbuat sesuatu pasti ada yang terluka. Ini termasuk ciri-ciri orang yang puasanya tidak sempurna. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak butuh perbuatan dia ketika menahan lapar dan dahaga.
Disebutkan dalam hadits :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَ الْعَمَلَ بِهَا وَ الجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَة فِيْ أَنْ يَدَعْ طَعَامَهُ وَ شَرَابَهُ
Dari Abu Hurairah berkata: bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, mengamalkannya, dan bersikap bodoh, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak butuh terhadap amalannya meninggalkan makan dan minum (puasanya).” (HR. Al-Bukhari)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Ketahuilah, amalan taqorub (mendekatkan dir) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan meninggalkan berbagai syahwat (yang sebenarnya mubah jika tidak sedang puasa seperti makan) tidak akan sempurna hingga seorang mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan meninggalkan perkara yang Dia larang yaitu dusta, perbuatan zholim, permusuan diantara manusia dalam masalah darah, harta, dan kehormatan.” (Lathaif al-Ma’arif, 1/168)
Hawa Nafsu, Sumber Lain Maksiat
Setan dipenjara, tapi masih banyak yang melakukan kemaksiatan? Pertanyaan yang sering dilontarkan dari mereka yang menganggap puasa hanyalah soal menahan lapar dan dahaga.
Mereka lupa bahwa penggoda manusia bukan hanya dari kalangan setan dan jin saja, sebenarnya di dalam diri manusia ada hawa nafsu yang jika tidak dikekang atau dikurung dengan Islam dan akal sehat maka akan menjerumuskan dirinya ke dalam kubang kemaksiatan.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ، وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ
Dari Abu Hurairah berkata: bahwa Rasulullah bersabda: ”Apabila Bulan Ramadhan, maka pintu-pintu jannah terbuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu.” (HR. Muslim)
Ada beberapa pendekatan yang disampaikan ulama dalam memahami kasus ini,
Pertama, Sumber maksiat bukan hanya setan, hawa nafsu manusia juga termasuk dari sumber-sumber maksiat. Seperti yang dijelaskan Imam as-Sindi dalam Hasyiyah-nya (catatan) untuk Sunan an-Nasai. Beliau mengatakan,
“Hadis ‘setan dibelenggu’ tidak berarti meniadakan segala bentuk maksiat. Karena bisa saja maksiat itu muncul disebabkan pengaruh jiwa yang buruk dan jahat. Dan timbulnya maksiat, tidak selalu berasal dari setan. Jika semua berasal dari setan, berarti ada setan yang mengganggu setan (setannya setan), dan seterusnya bersambung. Sementara kita tahu, tidak ada setan yang mendahului maksiat Iblis. Sehingga maksiat Iblis murni dari dirinya. Allah Subhanahu wa Ta’alau a’lam. (Hasyiyah Sunan an-Nasai, as-Sindi, 4/126).
Kedua, setan masih bisa mengganggu dengan cara-cara nya yang licik. Meski tangan dan leher dibelenggu anggota badan lain masih bisa menggoda manusia. Seperti yang dijelaskan Imam al-Baji – ulama Malikiyah – dalam Syarh Muwatha’,
“Sabda beliau, ‘Setan dibelenggu’ bisa dipahami bahwa itu dibelenggu secara hakiki. Sehingga dia terhalangi untuk melakukan beberapa perbuatan yang tidak mampu dia lakukan kecuali dalam kondisi bebas. Dan hadis ini bukan dalil bahwa setan terhalangi untuk mengganggu sama sekali. Karena orang yang dibelenggu, dia hanya terikat dari leher sampai tangan. Dia masih bisa bicara, membisikkan ide maksiat, atau banyak gangguan lainnya.”
Ketiga, belenggu hanyala diksi yang cocok untuk menggambarkan keadaan setan di bulan, dimana amal perbuatan baik digandakan, pintu surga dibuka selebar-lebarnya, pintu neraka ditutup rapat. Imam al-Baji leanjutkan
“…Bisa juga kita maknai, bahwa mengingat bulan ini bulan pernuh berkah, penuh pahala amal, banyak ampunan dosa, menyebab setan seperti terbelenggu selama ramadhan. Karena upaya dia menggoda tidak berefek, dan upaya dia menyesatkan tidak membahayakan manusia…” (al-Muntaqa Syarh al-Muwatha’, al-Baji, 2/75)
Keempat, yang dibelenggu hanya sebagian setan saja. Dalam fatwa Syabakah Islamiyah dinyatakan:
Sebagian ulama berpendapat bahwa setan yang dibelenggu hanyalah setan kelas kakap. Berdasarkan pendapat ini, adanya maksiat, disebabkan bisikan setan yang belum dibelenggu. (Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 40990).
Kewajiban seorang muslim
Kesimpulan yang harus kita pahami adalah, Pertama, menjadi wajib ketika kita telah mengetahui hakikat puasa yang sebenarnya yaitu menahan semua perkataan dan perbuatan kita yang mengurangi nilai-nilai puasa di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wajib untuk merealisasikannya di setiap amalan ibadah puasa kita, karena seperti yang dikatakan Imam Ibnu Rajab bahwa ketika kita menahan nafsu makan dan minum kita yang sebenarnya itu adalah hal mubah tidak akan sempurna kecuali dengan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan meninggalkan perkara-perkara yang jelas dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti perbuatan dusta dan lain sebagainya.
Kedua, terlepas dari arti setan dibelenggu hakiki atau majas (kiasan), meninggalkan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebuah kewajiban yang mutlak bagi seorang muslim. Sifat yang harus dimiliki seorang muslim, ada atau tidak adanya setan, dia harus senantiasa berada di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an :
إِنَّ ٱلنَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ
“Karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. Yusuf : 53)
Bukan hanya setan yang menggoda manusia, namun hawa nafsu juga seringkali menggoda manusia, membuat mereka terlena sehingga ada atau tidak adanya setan mereka pasti akan berbuat kemaksiatan. Wal’iyaddzu billah. [Khudzaifah Ulil Albab]