Fiqih : Hukum Mengqadha Puasa Syawal Pada Bulan Setelahnya
Oleh (Santri Ali Bin Abi Thalib Purbalingga)
Jumhur fuqaha menjelaskan bahwa pada dasarnya hukum puasa enam hari pada bulan Syawal setelah puasa Ramadhan adalah sunah. (Mausu’ah Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 28/92)
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu
من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر
“Siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian diiringi dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka yang demikian itu seolah-olah berpuasa sepanjang masa.” (HR. Muslim)
Adapun keterangan dari redaksi hadits di atas menunjukkan bahwa pahala tersebut diperuntukkan bagi seseorang yang berpuasa 6 hari di bulan Syawal.
Namun, para ulama berbeda pendapat, jika puasa enam hari tersebut dilakukan di luar bulan Syawal; karena berhalangan atau karena sebab lain, apakah tetap akan mendapatkan keutamaan puasa 6 hari pada bulan tersebut apa tidak?
Pendapat pertama, bahwa keutamaan puasa 6 hari di bulan Syawal tersebut bisa diraih bagi orang yang melaksanakannya pada bulan Syawal atau pada bulan setelahnya. Ini adalah pendapat yang dikemukakan oleh sebagian fuqaha Malikiyyah dan Hanabilah. (Syarah Mukhtashar Khalîl, Al-Kharâsyi, 2/243, Kitâb Al-Fur’û, Ibnu Muflih, 5/86)
Pendapat kedua, bahwa bagi siapa saja yang terlambat untuk berpuasa 6 hari pada bulan Syawal maka bisa menggantinya pada bulan Dzul Qa’dah. Akan tetapi pahalanya lebih sedikit dari pada mereka yang berpuasa pada bulan Syawal. Pendapat ini yang diambil oleh sebagian fukaha Syafi’iyyah. (Tuhfatul Muhtâj, Ibnu Hajar Al-Haitami, 3/457)
Pendapat ketiga, menyatakan tidak mendapat keutamaannya kecuali dengan berpuasa 6 hari pada bulan Syawal, ini merupakan pendapat Hanabilah. (Kasyâf Al-Qanâ, Al-Buhuti, 2/338, Majm’û Fatâwa wa Maqâlât, Bin Baz, 15/395)
Muhammad Shalih Munajjid dalam fatwanya merangkum persoalan tentang puasa sunah 6 hari di luar bulan Syawal. Beliau menyebutkan bahwa sebagian ulama membolehkannya sama halnya kalau dilakukan di bulan Syawal, sebagian mereka ada yang berpendapat tetap mendapatkan keutamaannya namun lebih kecil dari mereka yang melakukannya di bulan Syawal.
Sebagian mereka mengharapkan tetap mendapatkan pahala bagi seseorang yang puasa tidak lengkap 6 hari, keutamaan Allah itu luas, pemberian-Nya tidak berbatas.
Maka dari penjelasan di atas, kami (Penyusun artikel) memilih bahwa secara hukum asal orang yang mengqada puasa Syawal pada bulan selain Syawal tidak mendapatkan fadhilah atau keutamaan pahala sebagaimana yang dijanjikan dalam hadits di atas.
Namun apabila seseorang mendapatkan halangan yang menyebabkan seseorang itu mengakhirkan puasa syawalnya seperti sebab sakit, nifas, atau udzur-udzur syari lainnya, kemudian dia berpuasa setelah itu maka (insyaAllah) dia mendapatkan fadhilah puasa Syawal tersebut.
Pendapat ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Abdurrahman Nashir As-Sa’di dalam kitab beliau yang berjudul “Al-Fatâwa As-Sa’diah”. Dalam kitab tersebut dijelaskan
أما إن كان له عذر من مرض أو حيض أو نفاس أو نحو ذلك من الأعذار التي بسببها أخر صيام قضائه، أو أخر صيام الست، فلا شك في إدراك الأجر الخاص، وقد نصوا على ذلك
وأما إذا لم يكن له عذر ً أصلا، بل أخر صيامها إلى ذي القعدة أو غيره، فظاهر النص يدل على أنه لا يدرك الفضل الخاص، وأنه سنة في وقت فات محله، كما إذا فاته صيام عشر ذي الحجة أو غيرها حتى فات وقتها، فقد زال المعنى الخاص، وبقي الصيام المطلق
“Adapun seseorang yang mempunyai udzur seperti sakit, haid, nifas, atau semacamnya dari udzur-udzur syari yang menyebabkannya mengakhirkan puasa qadhanya atau mengakhirkan puasa syawalnya, maka tidak diragukan kembali (dalam kasus ini) akan mendapatkan pahala secara khusus, dan hal tersebut telah dinashkan.
Namun, seseorang yang tidak mempunyai udzur untuk mengakhirkan puasanya sampai Dzulqa’dah atau bulan lainnya, maka sesuai dengan dzahir nashnya seseorang tersebut tidak mendapatkan keutamaan secara khusus. Karena hal tersebut adalah sunah yang terikat waktu dan telah berlalu waktu tersebut.
Sebagaimana waktu puasa sepeluh hari bulan Dzulhijjah atau lainya telah berlalu, maka makna puasa tersebut telah hilang dan hanya menjadi puasa mutlak saja.” (Al-Fatâwa As-Sa’diah, Abdurrahman As-Sa’di, 230)
Kesimpulan persolan ini adalah sebagian ulama membolehkan untuk mengqada puasa Syawal dan berharap tetap mendapatkan keutamaanya dengan syarat pengakhiran pelaksanaan puasa tersebut dikarenakan adanya udzur-udzur syar’i.
Namun apabila bukan sebab udzur syari, maka itu hanya dinilai sebagai puasa sunah mutlak saja. Wallahu ‘alam bisshwab.