Fiqih : Hukum Berjabat Tangan Dengan Wanita Ajnabiyah
Oleh (Santri Ali Bin Abi Thalib Purbalingga)
Islam adalah agama terbaik, terindah, terkomplit, dan satu-satunya yang diterima oleh Allah ﷻ. Semua aspek kehidupan diatur rapi oleh Islam.
Bukan hanya memperhatikan aspek jasmani, melainkan disertai pula aspek rohani. Bukan hanya bagaimana berinteraksi dengan Sang Pencipta saja, Islam juga membahas bagaimana cara berinteraksi dengan sesama.
Sehingga tidak terjadi konflik di antara sesama. Salah satu ajaran agama Islam adalah berjabat tangan dengan sesama terutama ketika berjumpa. Pada dasarnya, berjabat tangan adalah suatu perbuatan yang disunahkan dalam Islam. Sebab perbuatan ini dicontohkan langsung oleh baginda Nabi Muhammad ﷺ dan juga para sahabatnya. Namun, hal tersebut bisa berubah menjadi haram atau dilarang jika dilakukan dengan tidak memperhatikan rambu-rambu syariat.
Ironisnya di negeri kita Indonesia, berjabat tangan dengan wanita ajnabiyah merupakan sesuatu yang dianggap lumrah oleh kaum muslimin, baik dari kalangan awam sampai kalangan pesantren.
Berangkat dari peristiwa tersebut, maka menjadi penting untuk kembali mengingat bagaimana hukum berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram menurut para ulama. Mari kita perhatikan bersama-sama.
Definisi Ajnabiyah
Ajnabiyah berasal dari kata ajnab (أَجْنَبٌ) yang ditambahkan ya’ nisbah (يّ) dan ta’ marbuthah (ة). Ajnab secara etimologi berarti sesuatu yang tidak jelas atau asing.[1]
Sedangkan menurut terminologi, Syekh Muhammad bin Abd al-Ghaffar mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ajnabiyah adalah, “Wanita yang boleh untuk dinikahi. Seperti saudari sepupu dari bibi pihak ibu atau saudari sepupu dari bibi pihak ayah.” [2]
Larangan Berjabat Tangan Dengan Ajnabiyah
Allah ﷻ berfirman di dalam QS. Al-Isra’ ayat 32
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا (٣٢)
“Dan janganlah kamu mendekati zina, itu sungguh suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ﷻ melarang hamba-Nya untuk mendekati zina, maksudnya ialah larangan untuk melakukan zina, mendekatinya, melakukan sebab-sebab ataupun pengantar yang mengarah pada perbuatan zina.”[3]
Di dalam hadits yang diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar, dijelaskan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
قَالَ: لَأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمُسَ امْرَأَةً لَا تَحِلَ لِهُ
“Ditusuknya kepala seorang di antara kalian dengan pasak dari besi lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Thabrani no. 486)[4]
Syaikh al-Albani berkata, “Dalam hadits ini terdapat ancaman yang keras bagi laki-laki yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya.
Maka ini juga menjadi dalil haramnya berjabat tangan dengan wanita karena tidak diragukan lagi dalam jabat tangan terjadi sentuhan.”[5]
Mahram
Mahram adalah semua orang yang haram dinikahi selamanya[6] baik karena nasab, susuan, maupun pernikahan.[7] Senada dengan hal tersebut, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim mengatakan, “Mereka adalah wanita-wanita yang dilarang dinikahi oleh laki-laki.”[8]
Beliau tidak memutlakkan selamanya karena ada di antara mereka yang bisa dinikahi jika alasan yang membuatnya diharamkan hilang.
Oleh sebab itu, beliau membagi mahram menjadi dua[9], yaitu:
- Mahram muabbad, mereka adalah wanita yang diharamkan dinikahi selamanya.
- Mahram muaqqat, mereka adalah wanita yang diharamkan sampai waktu tertentu. Mahram jenis yang kedua ini tetap diharamkan menyentuhnya.
Dalil haramnya menikahi mereka adalah firman Allah ﷻ dalam Surat An-Nisa’ ayat 22-23. Darinya kita bisa memahami bahwa wanita yang mahram (dilarang dinikahi) itu ada 8:
- Ibu, baik kandung, tiri maupun ibu susuan.
- Anak perempuan, baik kandung maupun tiri (jika ibunya sudah digauli).
- Saudari perempuan, baik kandung maupun karena susuan.
- Keponakan, baik dari saudara laki-laki maupun dari saudara perempuan.
- Bibi, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
- Mertua.
- Menantu.
- Saudari ipar (selama saudarinya masih menjadi istrinya).
Hukum Berjabat Tangan Dengan Ajnabiyah
Pada dasarnya berjabat tangan adalah perbuatan yang dianjurkan oleh syariat. Hal itu jika dilakukan dengan sesama jenis atau orang yang menjadi mahramnya.
Adapun jika dilakukan dengan selain mereka, maka hukumnya menjadi haram untuk dilakukan. Berikut penjelasan para ulama tentang hal tersebut:
1. Mazhab Hanafi
Dalam kitab Badai’ al-Shana’i disebutkan, “Hukum menyentuh dua anggota badan ini (wajah dan dua telapak tangan) tidak diperbolehkan, karena kebolehan melihat itu sebab darurat sebagaimana yang pernah kami sebutkan.
Adapun menyentuhnya tidak termasuk perkara yang darurat karena sentuhan dapat membangkitkan syahwat lebih besar daripada sekedar melihat.”[10]
2. Mazhab Maliki
Abu Walid al-Baji menerangkan tentang cara baiat seorang laki-laki adalah dengan berjabat tangan. Sedangkan baiatnya perempuan itu dengan ucapan saja, tanpa berjabat tangan, karena Nabi bersabda bahwa beliau tidak menyentuh wanita yang tidak halal baginya.[11]
3. Mazhab Syafi’i
Imam Nawawi menerangkan bahwa baiatnya wanita mukmin cukup dengan perkataan saja. Sedangkan baiatnya laki-laki dengan jabat tangan dan perkataan. Tidak diperbolehkan menyentuh kulit wanita ajnabiyah kecuali dalam keadaan darurat.[12]
4. Mazhab Hambali
Abu Fida Ali bin ‘Aqil al-Baghdadi mengatakan dalam kitab Fushulnya, “ Berjabat tangan hukumnya mustahab (dianjurkan) antara laki-laki dengan laki-laki dan tidak diperbolehkan berjabat tangan dengan wanita muda karena hal itu bisa membangkitkan syahwat.”[13]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Diharamkan melihat wanita (ajnabiyah) dan orang amrad yang disertai dengan syahwat.”[14]
Dari pemaparan pendapat ulama mazhab di atas dapat kita simpulkan bahwa mereka sepakat bahwa perbuatan tersebut merupakan suatu larangan sekalipun dalil yang digunakan berbeda.
Sehingga bersentuhan secara sengaja dengan lawan jenis yang bukan mahram merupakan tindakan yang tidak dibenarkan kecuali dalam keadaan darurat dan dalam Mazhab Hambali dibolehkan berjabat tangan dengan wanita tua yang tidak menarik lagi.
Hukum Berjabat Tangan Dengan Ajnabiyah
- Sebagian kalangan keliru dalam menafsirkan makna hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Athiyyah al-Anshari berikut: “Ummu Athiyyah mengatakan, “Kami berbaiat kepada Nabi ﷺ kemudian beliau membacakan ayat ‘Untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun….’ sampai akhir (QS. Al-Mumtahanah: 12) dan beliau melarang kami dari niyahah (meratap, menjerit-jerit atau menepuk pipi ketika kematian). Kemudian ada seseorang yang mencabut tangannya dari kami dan mengatakan, ‘Si Fulanah telah membahagiakanku dan aku ingin membalasnya.’ Akan tetapi Nabi ﷺ tidak mengucapkan apa-apa, lantas Si Wanita itu pergi dan tidak kembali lagi. Sehingga tak ada yang memenuhi janji setianya (baiat) selain Ummu Sulaim, Ummul Ala, anak perempuan Abu Sabrah yang ia adalah istri Mu’adz atau anak perempuan Abu Sabrah, dan istri Mu’adz.” (HR. Bukhari no. 7215) Mereka menafsirkan kata qabdh dengan menggenggam atau dengan kata lain berjabat tangan. Padahal makna yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah kinayah dari diakhirkannya penerimaan baiat. Sebagaimana yang dijelaskan oleh ulama hadits terkenal yaitu Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fath al-Bari’, beliau mengatakan, “Maksud dari kata qabdhul yad adalah mengakhirkan penerimaan baiat.”[15]
- Kesimpulan sebagian kalangan yang menyatakan bahwa jika tangan wanita bukanlah aurat dan tidak diharamkan melihatnya tanpa ada syahwat, maka berjabat tangan tidak diharamkan. Hal tersebut adalah batil karena kebolehan melihat sesuatu bukan berarti kebolehan menyentuhnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Marghinani al-Hanafi, “Tidak boleh bagi seorang laki-laki menyentuh wajah dan telapak tangan wanita yang tidak mahram sekalipun aman dari syahwat.”[16]
- Istidlal sebagian kalangan dengan berbagai jalur riwayat hadits tentang berjabat tangannya Nabi dengan wanita ajnabiyah dengan perantara kain. Hadits-hadits yang mereka gunakan adalah hadits mursal. Hadits mursal tidak sah untuk digunakan sebagai dalil atau hujjah.
- Sebagian kalangan mengatakan bahwa Nabi membolehkan umatnya untuk berjabat tangan dengan wanita ajnabiyah. Landasan mereka adalah hadits Ummu Athiyah tentang perwalian baiat Nabi ﷺ oleh sahabat Umar bin Khattab di Madinah berikut, “Kemudian Umar menjulurkan tangannya dari luar rumah dan kami menjulurkan tangan kami dari dalam rumah. Lalu beliau berkata, ‘Ya Allah saksikanlah.’”[17].
Penjuluran tangan di atas menurut mereka mengharuskan adanya jabat tangan. Padahal yang dimaksud dengan penjuluran tangan adalah isyarat akan selesainya baiat sekalipun tanpa berjabat tangan. Sebagaimana yang disebut dalam kitab Tuhfah al-Ahwadzi. [18] - Sebagian kalangan berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik. Mereka menyebutkan bahwa para budak wanita penduduk Madinah mengambil tangan Nabi ﷺ ke manapun yang mereka kehendaki untuk memenuhi kebutuhan mereka. Padahal yang dimaksud dengan mengambil tangannya adalah kelembutan dan kepatuhan.[19] Itu adalah bentuk kerendahan hati beliau terhadap umatnya.
- Mereka mengatakan bahwa berjabat tangan dengan wanita ajnabiyah diperbolehkan dengan syarat tidak adanya syahwat antara keduanya dan aman dari fitnah.[20] Pendapat ini keliru karena menyelisihi hadits shahih, sharih, dan perbuatan Nabi ﷺ sendiri. Padahal Nabi ﷺ adalah orang yang terjaga dari kesalahan dan beliau tidak menyentuh ataupun berjabat tangan dengan wanita ajnabiyah. Begitu pula yang dilakukan oleh para sahabatnya dan para ulama Rabbani yang Allah beri petunjuk.
Kesimpulan
Dalam konteks pandangan ulama terkemuka dari empat Mazhab, terdapat kesepakatan bahwa tindakan berjabat tangan dengan wanita ajnabiyah memiliki hukum yang jelas, yaitu haram meskipun situasinya terhindar dari fitnah.
Namun, tetap ada pengecualian bahwa perbuatan tersebut dibolehkan ketika dalam keadaan darurat yang memaksa.
Juga perlu dicatat bahwa Mazhab Hambali memiliki perspektif yang sedikit longgar mengenai perkara ini. Mereka membolehkan berjabat tangan dengan wanita tua yang sudah tidak menarik atau tidak berpotensi menimbulkan fitnah.
Meskipun demikian, pandangan ini tetap berada dalam batasan-batasan tertentu yang diakui dalam Mazhab Hambali.
Adapun dalam perkembangannya, terdapat keraguan dan kebingungan pada sebagian kalangan kaum muslimin terkait kebolehan berjabat tangan dengan wanita ajnabiyah. Syubhat ini muncul karena istidlal, yaitu argumen yang mereka ambil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, dipahami secara keliru dan lemah.
Penafsiran yang mereka lakukan terhadap sumber-sumber tersebut tidak akurat, sehingga mengarah pada keyakinan yang salah terkait kebolehan berjabat tangan.
Oleh sebab itu, dalam mengambil kesimpulan, sangat penting bagi umat Islam untuk memahami bahwa agama memiliki prinsip-prinsip yang jelas namun juga mempertimbangkan konteks dan situasi.
Sehingga ketika ada perbedaan pandangan serta kebingungan yang muncul di sebagian golongan, seseorang bisa memahami ajaran agama dengan lebih dalam dan tidak terjebak dalam interpretasi yang keliru. Wallahu a’lam.
Referensi
[1] Al-Thahir Ahmad al-Zawi, Tartîb al-Qâmûs al-Muhîth, (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1996), juz 1, hal. 535.
[2] Muhammad bin Abdul Ghaffar, Syarh Matn Abi Syuja’, juz 18 hal. 13.
[3] Imam Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyah, 1419 H), juz 5 hal. 66.
[4] Imam Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, (Kairo:Maktabah Ibnu Taimiyah), juz 20 hal. 221.
[5] Syaikh Nashiruddin al-Albani, Silsilah al-Ahadits al-Shahihah, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, 1995), juz 1 hal. 448.
[6] Abdulhaq bin Saifuddin al-Bukhari al-Dihlawi al-Hanafi, Lum’at al-Tanqih fi Syarh Misykat al-Mashabih, (Damaskus: Dar al-Nawadzir, 2014), Juz 6 hal. 21.
[7] Syahatah Muhammad Shaqr, al-Ikhtilath baina al-Rijal wa al-Nisa’, (Dar al-Yasr, 2011), juz 1 hal. 62.
[8] Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Shahih Fiqh al-Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhih Madzahib al-‘Aimmah, (Kairo: Maktabah at-Taufiqiyyah, 2003), Juz 3 hal. 76.
[9] Ibid. Hal 77.
[10] Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani, Badai’ al-Shana’i fi Tartib al-Syarai’, (Dar al-Kutub al-‘Alamiyah,1986), juz 5 hal. 123.
[11] Abu Walid al-Baji, al-Muntaqa Syarh al-Muwatha’, (Mesir:Mathba’ah al-Sa’adah, 1332 H), juz 7 hal. 308.
[12] Imam Nawawi, al-Minhaj Syarh al-Nawawi ‘ala Muslim bin al-Hajjaj, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi), juz 13 hal. 10.
[13] Abu Fida Ali bin ‘Aqil al-Baghdadi, Fushul al-Adab wa Makarimul-Akhlaq al-Masyru’ah, (Beirut: Maktabah Adhwa’ al-Salaf, 2003), hal. 42.
[14] Ibnu Taimiyah, al-Fatawa al-Kubra, (Dar al Kutub al-‘Alamiyah), juz 5 hal. 449.
[15] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379 H), juz 8 hal. 636.
[16] Abu al-Hasan Ali bin Abu Bakar al-Marghinani, Al-Hidayah fi Syarh Bidayatul-Mubtadi, (Beirut:.Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1431 H), juz 8 hal. 368.
[17] Ahmad bin ‘Amr al-Bazzar, Musnad al-Bazzar, (Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2009), juz 1 hal. 374.
[18] Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarhi Jami’ al-Tirmidzi, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyah, 1431 H), juz 9 hal.144.
[19] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379 H), juz 10 hal. 490.
[20] Yusuf al-Qardhawi, Min Hady al-Islam Fatawa al-Ma’ashirah, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1990), juz 3 hal. 301.