Pondok Pesantren Ali bin Abi Thalib Purbalingga

Fiqih Praktis Barang Temuan

Fiqih : Fiqih Praktis Barang Temuan
Oleh (Santri Ali Bin Abi Thalib Purbalingga)

Salah satu pertanyaan yang kerap ditanyakan oleh masyarakat adalah perihal barang temuan yang kadang dianggap sepele. Diketahui selama ini bahwa etika dan pemahaman tentang barang temuan sering diabaikan oleh masyarakat pada umumnya. Seakan barang yang ditemukan adalah rezeki yang jatuh dari langit dan tidak perlu dikembalikan kepada pemiliknya.

Padahal, seorang muslim haruslah memperhatikan hal-hal yang digunakan dan dikenakannya karena semua itu akan ditanya pertanggung jawabannya di sisi Allah ﷻ. Berangkat dari sini, maka setiap mukallaf hendaknya memahami fiqih berkaitan dengan barang temuan, terlebih hal ini erat kaitannya dengan kasus-kasus yang sering terjadi di masyarakat.

Untuk itu kami berusaha menghadirkan fiqih praktis barang temuan yang disarikan dari pendapat ahli fiqih Mazhab Syafi’i terkhusus Imam An-Nawawi dari beberapa kitab beliau seperti Minhaj ThalibinRaudhah, dan Majmu’ Syarah Muhadzab.

Semoga  artikel yang singkat ini bisa menjadi salah satu acuan untuk memahami fiqih barang temuan.

Definisi Barang Temuan (Luqathah)

Perlu diketahui bahwa pembahasan barang temuan dalam fikih itu disebut dengan luqathah. Luqathah (لُّقْطةُ) secara bahasa berasal dari kata لقط  yang bermakna  أَخْذُ الشيء من الأَرض  yaitu mengambil atau menemukan sesuatu dari tanah atau jalan. (Lisanul Arab, Ibnu Madzur, 7/392) atau sesuatu yang ditemukan tergeletak lalu diambil.

Definisi secara syar’i dari luqathah atau barang temuan adalah harta atau sesuatu tertentu yang ditemukan di suatu tempat yang tidak ada pemiliknya dikarenakan jatuh, lalai, atau semisalnya dan si Penemu tidak mengetahui pemiliknya. (Mughni Al-Muhtaj, Al-Khatib, 2/406)

Kriteria Barang Temuan

Pertama, barang yang ditemukan itu adalah barang yang hilang dari pemiliknya karena jatuh, kelalaian sang Pemilik, atau sejenisnya. (Raudhah Ath-Thalibin, An-Nawawi, 4/46)

Kedua, barang tersebut ditemukan di tempat yang umum. Seperti jalan umum, trotoar, atau masjid.  Jika ia menemukan di atas tanah orang lain maka barang tersebut adalah kepunyaan orang yang memiliki tanah tersebut.

Ketiga, tempat ia menemukan barang adalah di Negara Islam atau berada di kawasan yang terdapat orang Islam di sana. (Raudhah Thalibin, An-Nawawi, 4/46)

Maka apabila seseorang menemukan luqathah di darul harbi (zona perang) yang tidak ada orang Islam maka itu menjadi ghanimah baginya. Sehingga seperlima ia berikan kepada yang berhak dan sisanya untuk si Penemu tanpa diumumkan. (At-Tahdzib fi Fiqh al-Imam Asy-Syafi, Al-Baghawi, 4/553)

Jenis-Jenis Barang Temuan

Pertama, benda yang bernilai tetap (tahan lama).

Sebagai contoh barang yang dapat disimpan dalam masa yang panjang minimal 1 tahun seperti uang, dirham (emas), dan dinar (perak).

Kedua, benda yang tidak tahan lama.

Sebagaimana pendapat Imam Nawawi bahwa barang-barang yang akan rusak sebelum masa setahun bahkan lebih singkat lagi itu seperti makanan, tepung, dan buah-buahan. Entah ia menjual dan memiliki harganya atau ia makan dan siap mengganti yang semisalnya. (Minhaj Ath-Thalibin, An-Nawawi, 28)

Adapun orang yang mengambil barang-barang tersebut boleh ia mengambilnya untuk dimakan supaya tidak menjadi sia-sia dengan syarat sanggup mengganti uang harga barang tersebut jika pemiliknya datang. Atau ia menjualnya lalu mengambil harga dan mengumumkannya.

Sebagian Ulama Syafi’iyah lainya menambahkan bahwa tidak boleh baginya untuk memakan barang tersebut apabila mungkin untuk dijual dan layak. (At-Tahdzib fi Fiqh al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Baghawi, 4/559)

Sehingga wajib baginya untuk menjual barang temuan tersebut, terlebih lagi jika ia menemukannya di daerah yang banyak penduduk seperti perkotaan atau desa. (Minhaj Ath-Thalibin, An-Nawawi, 288)

Ketiga, benda yang tahan lama dengan usaha.

Imam Nawawi berpendapat bahwa jika memungkinkan barang temuan tersebut untuk bertahan dengan usaha, seperti kurma basah, maka hendaknya ia mengeringkan (dengan suka rela) atau menjualnya atau ia menjual sebagian dari barang temuan tersebut untuk biaya perawatan atau pengeringan. (Minhaj Ath-Thalibin, An-Nawawi, 288)

Maka orang yang menemukan hendaklah memperhatikan yang lebih berfaedah bagi pemilik barang tersebut. Seperti sesuatu yang membutuhkan nafkah yang mencakup manusia (laqith) anak kecil dan binatang (dhalah). Imam Nawawi membagi binatang yang hilang (dengan tanda semisal kalung, dan sebagainya) menjadi dua:

Hewan kuat, yang mampu menjaga dirinya dari binatang buas dengan kekuatannya. Contohnya unta, kerbau, kuda, keledai atau hewan yang biasa berlari kencang seperti rusa dan kelinci, dan juga burung seperti burung merpati.

Apabila ia menemukannya di hutan belantara atau di gurun maka haram baginya untuk mengambil dengan maksud memiliki.

الحيوان الممتنع من صغار السباع, إن وجد بمفازة يحرم التقاطه

“Adapun hewan yang kuat apabila ditemukan di hutan atau di gurun maka diharamkan untuk diambil.” (Minhaj Ath-Thalibin, An-Nawawi, 288)

Jika ia tetap mengambilnya maka dikenakan dhaman (ganti rugi) sampai ia serahkan hewan tersebut kepada qadhi atau imam. Sebagaimana jawaban Nabi ketika ditanya tentang unta yang hilang

ما لك ولها معها حذاؤها وسقاؤها حتى يأتيها ربه

“Apakah (belum jelas) milikmu dan miliknya?” Sedangkan pada unta itu terdapat sepatu dan kantung air kepunyaannya. (Simpanlah) hingga datang pemiliknya.” (HR. Abu Dawud)

Kemudian jika ia mengambil hewan tersebut dengan tujuan untuk menjaga tanpa maksud memiliki, maka ia harus menyerahkannya kepada pemimpin (imam). Adapun jika imam menemukan hewan tersebut maka ia berhak mengambilnya karena mempunyai hak wilayah untuk menjaga barang orang lain dan ia menjadi tempat mencari barang yang hilang bagi orang yang kehilangan.

Hal tersebut sebagaimana yang diriwayatkan bahwa Khalifah Umar mempunyai tempat atau kandang khusus untuk menjaga hewan-hewan yang hilang. (At-Tahdzib fi Fiqh al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Baghawi, 4/555)

Adapun ketika seseorang menemukan hewan yang kuat di wilayah yang berpenduduk, Imam Nawawi berpendapat bahwa ia boleh mengambilnya untuk dimiliki. (Minhaj Ath-Thalibin, An-Nawawi, 288)

Imam Nawawi di sini membedakan hewan yang ditemukan di hutan dan di wilayah yang berpenduduk.

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Muzanni bahwa Nabi ﷺ membedakan hewan yang ditemukan di hutan atau gurun dengan yang ditemukan di tempat berpenduduk. Ketika di kawasan tak berpenduduk maka hewan yang kuat bisa mencari makan sendiri dan mempunyai cadangan air (punuk) sehingga ia tidak dikhawatirkan.

Sedangkan ketika di wilayah yang berpenduduk, maka baik hewan yang kuat maupun lemah keduanya sama-sama dikhawatirkan. Karena di wilayah tersebut ada kemungkinan akan diambil oleh orang yang yang tidak bertanggung jawab. (Majmu’ Syarah Muhadzab, An-Nawawi, 15/273)

Hewan yang lemah, yang tak mampu menjaga diri dari hewan buas. Misalnya kambing, domba, dan anak sapi. Maka dibolehkan bagi yang menemukan hewan tersebut untuk mengambilnya. (Majmu’ Syarah Muhadzab, An-Nawawi, 15/272)

Imam Nawawi memberikan pilihan ketika seseorang mendapatkan hewan tersebut di hutan atau di gurun ia harus memilih salah satu dari tiga opsi

ويتخير أخذه من مفازة فإن شاء عرفه وتملكه أو باعه وحفظ ثمنه وعرفها ثم تملكه أو أكله وغرم قيمته إن ظهر ماكه

Pertama, ia mengambil hewan tersebut untuk dimiliki yaitu menjaganya sekaligus mengumumkannya. Kedua, menjual hewan tersebut menjaga harganya kemudian mengumumkan dan memilikinya. Ketiga, memakannya [jika hewan bisa dimakan] dan siap dengan ganti yang semisal dengannya  jika pemilik dari hewan tersebut datang.” (Minhaj Ath-Thalibin, An-Nawawi, 288)

Opsi pertama lebih didahulukan daripada opsi kedua dan opsi kedua lebih didahulukan daripada opsi yang  terakhir. Adapun ketika seseorang menemukan hewan tersebut di wilayah yang berpenduduk, Imam Nawawi  berpendapat bahwa tidak boleh memakannya.

فإن أخذه في العمران فله الخصلتان الأوليان لا الثالثة في الأصح

“Apabila ia mengambilnya di wilayah berpenduduk, maka baginya dua pilihan pertama (menjaga atau menjualnya) dan tidak boleh pada pilihan ketiga.” (Minhaj Ath-Thalibin, An-Nawawi, 288)

Menjualnya lebih memungkinkan untuk laku karena berada di wilayah yang berpenduduk. Sedangkan ketika seseorang menemukannya di hutan atau di gurun maka kemungkinan kecil untuk laku dan ada kesulitan jika di bawa ke wilayah yang berpenduduk maka kami membolehkan untuk memakannya. (At-Tahdzib fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Baghawi, 4/557)

Hukum Mengambil Barang Temuan

Imam Nawawi membagi beberapa hukum tentang pengambilan barang temuan.

Pertama, dianjurkan untuk diambil yaitu bagi orang yang percaya bahwa dirinya sanggup mengerjakan segala yang bersangkutan dengan pemeliharaan barang tersebut sebagaimana mestinya.

Kedua, wajib diambil apabila kuat dugaannya bahwa barang tersebut akan hilang sia-sia atau diambil oleh orang yang tidak bertanggung jawab kalau tidak diambilnya.

Ketiga, makruh mengambilnya bagi orang fasik dan yang tidak percaya kepada dirinya, khawatir bahwa ia akan berkhianat terhadap barang temuan itu di kemudian hari.

Imam Ghazali menambahkan bahwa haram hukumnya bagi si Penemu untuk mengambil jika benar-benar diketahui ia akan berkhianat terhadap barang temuan tersebut. (Raudhah Ath-Thalibin, An-Nawawi, 4/453)

Saksi Dalam Penemuan Barang Temuan

Imam Nawawi menjelaskan bahwa dianjurkan untuk ada saksi dalam perkara penemuan barang.

في الوجوب الإشهاد على اللقطة أصحهما : لا يجب لكن يستحب

“Dalam permasalahan wajib tidaknya saksi dalam mengambil barang temuan, yang paling shahih di antara keduanya adalah tidak wajib tapi dianjurkan.” (Raudhah Ath-Thalibin, An-Nawawi, 4/453)

Adapun yang disaksikan oleh para saksi dalam barang temuan menurut Imam Nawawi adalah sebagian dari ciri-ciri barang temuan tersebut. Sehingga tidak semua ciri-ciri barang disaksikan oleh para saksi agar kesaksian tersebut menjadi faedah.

Pendapat lain datang dari kalangan Syafi’iyah yaitu Imam Al-Baghawi berpendapat bahwa yang disaksikan oleh para saksi adalah sumber atau tempat ia menemukan atau jenis barang bukan sifat atau ciri-ciri barang temuan tersebut. Tujuannya agar tidak diketahui oleh saksi sehingga saksi tersebut mengaku-ngaku bahwa dia yang menemukannya.

Kewajiban Bagi Si Penemu

Pertama, menjaga barang temuan.

Seseorang yang menemukan luqathah maka wajib baginya menjaga barang tersebut. Karena itu adalah amanah dan berkaitan dengan yang namanya dhaman atau ganti rugi. Sedangkan ganti rugi sendiri erat kaitannya dengan niat dan maksud dari si Penemu dengan barang tersebut.

Jika seseorang mengambil dengan niat menjaga barang tersebut selamanya maka baginya amanah dan tidak ada dhaman jika barang itu rusak dengan sendirinya. (Raudhah Ath-Thalibin, An-Nawawi, 4/469)

Sebaliknya ketika seseorang mengambil barang temuan dengan maksud khianat dan ingin mengusainya maka baginya dhaman seperti hukumnya ia mengghasab barang orang lain, dan orang tersebut tidak bisa memilikinya walaupun ia mengumumkannya. Si Penemu akan terlepas dari ganti ruginya dengan menyerahkan barang temuan tersebut kepada hakim.

Adapun jika seseorang ingin mengambilnya dengan maksud untuk memiliki maka menjadi amanah pada masa pengumuman. Setelah habis masa pengumuman maka ia memilikinya. Akan tetapi jika si Empunya datang untuk meminta barang tersebut, ia wajib mengembalikannya.

Kedua, mengenali dan mengumumkan barang tersebut.

Kewajiban selanjutnya bagi si Penemu adalah mengenali barang temuan tersebut dan mengumumkannya agar tidak bercampur dengan hartanya dan mengetahui kebenaran orang yang datang dan mengaku sebagai pemilik barang tersebut. (At-Tahdzib fi Fiqh al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Baghawi, 4/548)

Hukum bagi mereka semua adalah wajib mengumumkannya karena dengan pengumuman tersebut akan terhindar dari menyembunyikan barang yang hilang dari pemilik.

Diwajibkan untuk mengumumkan di masa ketika manusia berkumpul (siang hari) dan di tempat berkumpulnya berkumpul seperti pasar, di depan pintu-pintu masjid (dilarang di dalam masjid) selama satu tahun. Terutama di tempat di mana ia menemukan barang itu dan sekitarnya. (Majmu’ Syarah Muhadzab, An-Nawawi, 15/256)

Adapun teknisnya, Imam Nawawi menjelaskan bahwa satu tahun adalah durasi masa pengumuman barang temuan. Diumumkan secara bertahap yaitu dua kali sehari di setiap permulaan (pagi dan sore), lalu sehari sekali, lalu seminggu sekali, lalu sebulan sekali.

Ketika mengumumkan, si Penemu hendaknya menyertakan beberapa sifat dari barang tersebut, tetapi tidak semuanya. Hal itu dilakukan agar pemilik barang lebih mudah untuk mendapatkannya. (Raudhah Ath-Thalibin, An-Nawawi, 4/471)

Adapun biaya dalam pengurusan ketika mengumumkan barang temuan tersebut diambil dari baitul mal atau si Penemu meminjamkan biaya kepada si Pemilik barang dengan maksud menjaga tanpa niat memiliki. Sedangkan biaya dibebankan kepada orang tersebut ketika ia bermaksud ingin memilikinya. (Minhaj Ath-Thalibin, An-Nawawi, 289)

Kewajiban untuk mengumumkan barang temuan selama satu tahun ketika terpenuhi dua sifat pada barang yaitu banyak dan berharga serta barang tersebut dapat bertahan lama.

Maka apabila yang ditemukan itu sedikit atau sesuatu yang kebanyakan orang ketika kehilangan barang tersebut tidak mencarinya seperti sebutir kurma atau gandum, maka tidak mengharuskan untuk mengumumkan. Akan tetapi jika barang tersebut sedikit dan berharga Imam Nawawi berpendapat

والأصح لا يعرف سنة بل زمنا يظن أن فاقذه يعرض عنه غالبا

“Hendaknya ia mengumumkan barang tersebut dalam jangka waktu yang menurut dugaan yang kuat bahwa orang yang memiliki telah membiarkannya.” (Minhaj Ath-Thalibin, An-Nawawi, 289)

Selanjutnya ulama berbeda pendapat mengenai batasan kapan harta disebut sedikit. Imam Nawawi mengambil pendapat yang dishahihkan oleh Al-Ghazali yaitu

أصحها لايتقدر ما غلب على الظن أن فاقذه لايكثر أسفه عليه ولا يطول طلبه غالبا

“Pendapat yang paling shahih adalah tidak ada batasan yang pasti. Tapi dengan sangkaan pasti bahwa si Pemilik barang tidak merasa terlalu sedih dan terus mencari-cari barang tersebut yang hilang.”

Pendapat beliau berdekatan dengan pendapat ulama dari kalangan Hanabilah yang tidak memberikan batasan harta. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 6/351)

Adapun ulama dari kalangan Hanafiyah mereka memberikan batasan harga yang disebut sedikit adalah 10 dirham. Sehingga apa pun yang bernilai di atas 10 dirham maka merupakan harta yang banyak dan wajib diumumkan selama setahun. (Badai’ As-Shanai’, Al-Kasani, 6/202)

Sedangkan kenapa barang tersebut disyaratkan mampu bertahan lama adalah karena masa pengumuman membutuhkan waktu yang tidak sedikit.

Ketiga, mengembalikan kepada pemilik.

Ketika sang Pemilik barang datang meminta barangnya sebelum si Penemu memilikinya maka barang tersebut diserahkan kepada Pemilik dengan apa yang menyertainya atau apa yang berkembang dari barang tersebut. (Raudhah Ath-Thalibin, An-Nawawi, 4/478)

Jika sang Pemilik barang datang dan meminta barang tersebut sedangkan barang tersebut sudah menjadi miliknya. Maka apabila keduanya sepakat dengan mengembalikan barang aslinya maka dikembalikan. (Minhaj Ath-Thalibin, An-Nawawi, 289)

Tapi jika si Pemilik dan si Penemu sama-sama menginginkan barang tersebut, maka tidak boleh bagi si Penemu memaksa untuk mengambil barang lain yang semisal sebagai gantinya.

Jika ada seseorang yang mengaku bahwa dia yang memiliki barang tersebut dan memintanya tanpa menyebutkan sifat dan ciri-cirinya maka tidak boleh bagi si Penemu untuk memberikan kepada orang tersebut.  Kecuali si Penemu benar-benar mengetahui bahwa benda tersebut memang kepunyaannya.

Adapun apabila ada orang datang menyebutkan ciri-cirinya, maka bagi si Penemu haruslah memperhatikan dan menimbang. Jika dipastikan bahwa dia jujur maka boleh baginya untuk menyerahkan barang temuan tersebut. (Minhaj Ath-Thalibin, An-Nawawi, 290)

Hukum Memiliki Barang Temuan

Setelah si Penemu barang menjalankan kewajibannya terhadap barang temuan seperti mengumumkan selama setahun, maka dia akan memiliki barang tersebut. Di sini para ulama berbeda pendapat mengenai perbedaan orang kaya dan orang miskin apakah mereka sama-sama boleh memilikinya.

Imam Nawawi berpendapat tidak ada perbedaan dengan dalil keumuman sabda Nabi ﷺ  yang menunjukkan persamaan antara orang kaya dan orang miskin. Juga riwayat yang menyebutkan bahwa Ubay bin Ka’ab menemukan bungkusan yang di dalamnya ada 80 sampai 100 dinar kemudian mengumumkannya selama setahun.

Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa barang temuan hanya boleh dimiliki oleh orang miskin saja. Barang temuan tersebut tidak boleh dimiliki oleh orang kaya sebagaimana mereka tidak boleh menerima zakat.

Sehingga baginya ada dua opsi, ia menjaga selamanya atau menyedekahkannya. Apabila telah berlalu setahun maka tidak ada dhaman baginya. Jika belum berlalu setahun maka ada dhaman. Beliau menyamakan seperti zakat. (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, An-Nawawi, 15,/265)

Pendapat Imam Nawawi adalah pendapat yang diambil oleh jumhur kecuali Imam Abu Hanifah. Imam Nawawi menambahkan

كل مال استباح الفقيراتلافه بشرط الضمان استباح الغني اتلافه بشرط الضمان كالقرض

“Karena semua harta yang dibolehkan bagi fakir yang ketika rusak ada ganti rugi di sana maka hukumnya sama untuk orang kaya sebagaimana pinjam meminjam.”

Sebab, luqathah itu dimiliki dengan adanya dhaman atau ganti rugi. Sehingga orang kaya-lah yang lebih layak untuk memilikinya daripada orang miskin, karena ia lebih mampu untuk membayar dhamanWallahu a’lam.



Post Terbaru

Khutbah Jum’at: Keutamaan dan Amalan di Bulan Dzulhijjah

Khutbah : Khutbah Jum’at: Keutamaan dan Amalan di Bulan DzulhijjahOleh (Santri PPMTQ Ali Bin Abi Thalib) Facebook Twitter Youtube Instagram ...

Bismillah menurut pendapat ulama ahli fiqih dan ulama ahli hadits

Fiqih : Hukum membaca Basmalah dalam sholat dengan pelan (sirr) atau dengan keras (jahr)Oleh (Ustadz Thoha Husein Al-Hafidz) Facebook Twitter ...

Apakah basmalah merupakan sebuah ayat alquran atau tidak?

Fiqih : Nikmat Terbaik Dunia AkhiratOleh (Santri Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Purbalingga) Facebook Twitter Youtube Instagram Whatsapp Khutbah ...

Akibat Menunda Taubat

Tazkiyah : Akibat Menunda TaubatOleh (Santri Ali Bin Abi Thalib Purbalingga) Facebook Twitter Youtube Instagram Whatsapp Dalam aksinya menggoda umat ...

Kiat Sederhana Memenangkan Hati Manusia

Tazkiyah : Kiat Sederhana Memenangkan Hati ManusiaOleh (Santri Ali Bin Abi Thalib Purbalingga) Facebook Twitter Youtube Instagram Whatsapp Islam tidak ...

Apakah Sabar Ada Batasnya?

Tazkiyah : Apakah Sabar Ada Batasnya?Oleh (Santri Ali Bin Abi Thalib Purbalingga) Facebook Twitter Youtube Instagram Whatsapp Sebagai amalan hati ...

Program Terdekat Kami

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
Assalamualaikum Kak 👋
Ada yang bisa kami bantu?