Pondok Pesantren Ali bin Abi Thalib Purbalingga

Bolehkah Membawa Anak Kecil Ke Masjid Untuk Beribadah?

Fiqih : Bolehkah Membawa Anak Kecil Ke Masjid Untuk Beribadah?
Oleh (Santri Ali Bin Abi Thalib Purbalingga)

Apa tujuan membawa anak ke masjid?

Sebelum menelisik lebih dalam hukum membawa anak ke masjid. Marilah kita merenungi apa tujuan membawa anak kecil sebagai bahan pertimbangan lantaran banyaknya dampak yang muncul setelah ada keberadaan mereka.

Imam al-Buhuti mengatakan, “Disunahkan menjaga masjid dari anak kecil yang belum mumayiz tanpa ada maslahat dan faedah yang jelas.[1] Terlebih manakala anak-anak belum mengerti apa itu adab-adab dalam masjid atau belum di ajarkan. Sehingga timbul di benak mereka masjid bukan tempat beribadah melainkan tempat bermain yang mengasyikan.”

Ringkasnya, tujuan utama membawa ke masjid adalah untuk mendidik mereka agar kelak di masa taklif telah paham akan kewajiban. Oleh karena itu “Tidak ada perselisihan tentang keabsahan anak kecil yang berakal atas segala macam shalat”[2] demikian kata Ibnu Qudamah.

Padi masak, jagung mengupih. Selain melatih anak-anak tersebut, mereka juga sekaligus mendapatkan pahala atas amalannya. Lantaran para ulama juga tidak berselisih perihal anak kecil akan diberi pahala atas apa yang dilakukan dari segala ketaatan dan diampuni atas ketergelinciran dari segala kesalahan.[3]

Selain guna memahamkan tentang shalat, tujuan pokok selanjutnya adalah membangun kebiasaan baik agar mereka mengenal masjid dan jamaah. Dewan fatwa Saudi Arabiah; Lajnah Daimah pernah memfatwakan

إِذَا كَانَ الطِّفْلُ مَمَيِّزًا شُرِعَ إِحْضَارُهُ إِلَى الْمَسْجِدِ لِيُعْتَادَ الصَّلَاةَ مَعَ جَمَاعَةِ الْمُسْلِمِيْنَ

“Apabila anak telah mumayiz, maka disyariatkan untuk membawanya ke masjid, Agar terbiasa melaksanakan Shalat  bersama jamaah kaum muslimin.”

Maka tujuan utama yang dibenarkan adalah untuk mengajarkan shalat dan membiasakan mereka berjamaah. Sedangkan tujuan lain seperti karena tidak ada yang menjaga di rumah atau agar bergaul dengan temannya atau bahkan bermain di masjid sebaiknya dihindari kecuali menghajatkan pada kondisi tertentu.

Kapan boleh membiasakan anak ke masjid?

Kebiasaan membawa anak ke masjid bukanlah menjadi tradisi di zaman Nabi Muhammad. Dalam arti bahwa masjid tidak selalunya dipenuhi anak kecil setiap waktu shalat. Hanya beberapa momen tertentu dan hajat-hajat khusus.

Seperti contoh kasus Hasan dan Husein yang digendong Rasulullah. Kejadian itu terjadi saat khutbah Jumat. Juga perihal cucu Nabi; Maimunah, yang hanya dibawa sesekali saja. Tidak dijadikan kebiasaan.

Imam Shan’ani dalam kitabnya “Subulus Salam” menyebutkan, “Kata ‘adalah Rasulullah pernah’ (كان يصلى) tidak menunjukkan pengulangan terus-menerus secara mutlak, karena peristiwa Rasulullah membawa Umamah itu hanya terjadi satu kali saja, tidak pada waktu lain.”[4]

Bahkan, meski berniat untuk membiasakan dan mengajarkan anak kecil untuk melazimi jamaah di masjid, hal tersebut tidak serta merta mutlak diperbolehkan. Imam Abu Zakariya al-Anshari berkata bahwa pahala mengajarkan anak terkadang tidak lebih banyak dari pada pengurangan pahala lantaran hukum makruh membawa mereka.[5]

Apa sebab kemakruhannya? Beliau menerangkan, hukumnya khusus pada anak kecil yang dipaksakan ke masjid padahal belum mumayiz dan tidak mau mendengar arahan.

Oleh karenanya, Ibn Farhun al-Malik dalam Mawahib al-Jalil menegaskan, “Jika anak kecil itu selalu bermain dan tidak bisa berhenti ketika dilarang, maka tidak boleh dihadirkan (ke masjid).”

Kenapa demikian? Beliau menjelaskan karena syarat membawa anak kecil ke masjid itu ada 2; Pertama, tidak menimbulkan gaduh (bermain). Kedua, manakala dilarang seketika paham dan langsung berhenti untuk berbuat gaduh.”

Hal itu juga dikuatkan dengan hadits perintah shalat untuk anak usia 7 tahun dan ditegaskan di usia 10 tahun (HR. Abu Dawud, no. 495) kisaran usia tersebut adalah fase mumayiz menjelang balig. Bahkan sahabat Amru bin Salamah dahulu sudah mengimami kaumnya di usia 7 tahun (HR. Al-Bukhari, no. 4302).

Jadi, membawa bayi ke masjid adalah boleh sesekali. Sedangkan untuk membiasakan anak ke masjid hendaknya dilakukan setelah mereka di usia mumayiz dan dipukul jika tidak berkenan ketika menginjak usia baligh.

Apakah anak kecil mengandung najis?

Sebelum menentukan apakah anak kecil najis sehingga tidak sah shalatnya, hendaknya kita membahas faktor terbesar yang membuat anak kecil lekat dengan kenajisan.

Secara umum, najis yang sering melekat pada anak kecil terbagi menjadi dua. Najis dari dirinya karena kurang bersih dalam beristinja’ atau belum dikhitan, dan najis dari pakaian yang dikenakan karena tidak begitu memedulikan kebersihan.

Oleh sebab itu lebih utama menjauhkan anak dari masjid jika dikira mendapati anaknya dalam kondisi tersebut.

Perihal anak kecil yang biasa tidak benar dalam beristinja’ sejatinya masih dalam keadaan najis. Karena kategori istinja’ yang benar adalah membersihkan bagian luar dari lubang dubur dan tempat yang dilaluinya; untuk buang air besar[6] dan membersihkan lubang tempat keluar kencing dan semua yang terkena kencing; untuk buang air kecil.[7]

Hal tersebut tidak banyak disadari oleh anak-anak. Padahal di antara syarat sah shalat adalah kesucian baju, air, dan badan. Demikianlah yang dinukilkan dan dihukumi ijmak oleh Ibn Abil Iez dalam kitabnya “Tamhid”.[8]

Kemudian yang menjadi faktor selanjutnya adalah status anak yang belum dikhitan khususnya anak lak-laki. Sebab sahabat agung Ibn Abbas pernah berkata,

الْأَقْلَفُ: لَا تَجُوزُ شَهَادَتُهُ، وَلَا تُقْبَلُ لَهُ صَلَاةٌ، وَلَا تُؤْكَلُ لَهُ ذَبِيحَةٌ

Aqlaf adalah orang yang tidak berkhitan, tidak dianggap kesaksiannya, tidak sah shalatnya dan tidak dimakan sembelihannya.” (Mushanaf Ibn Abi Syaibah, 11/701)

Juga riwayat dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda,

اختتن إبراهيم بعد ثمانين سنة، واختتن بالقدوم

Ibrahim berkhitan kala berusia delapan puluh tahun di suatu tempat bernama Quddum.” (HR. Al-Bukhari, no. 6298)

Dari atsar tersebut disimpulkan oleh sebagian fukaha bahwa khitan bagi anak laki-laki hukumnya wajib meski sebagian lain seperti mazhab Hanafi dan Maliki menyunahkannya.[9]

Sedangkan perihal kesucian orang yang belum khitan tidak serta merta dianggap najis mutlak di setiap keadaan. Muhammad bin Ismail al-Amrani salah seorang qadhi kontemporer Yaman menyatakan sah shalatnya laki-laki yang tidak khitan sepanjang sebelum shalat dibersihkan dahulu.

Hal tersebut berdasarkan kesepakatan 4 mazhab dengan membenarkan orang yang merasa kesakitan untuk tidak mencuci bagian dalam kulit zakar. Sementara itu yang berpendapat wajibnya khitan maka wajib pula dibersihkan ketika mandi wajib dan istinja’ bagaimanapun kondisinya.[10]

Selain daripada kebersihan badan, anak kecil kalanya banyak bermain di berbagai tempat tanpa memandang bersih kotor suci najisnya suatu tempat. Andaikan demikian, anak tersebut dibawa atau pergi ke masjid dengan begitu sama saja membawa barang yang berkemungkinan mengandung najis.

Nabi Muhammad tatkala terjadi peristiwa Arab Badui kencing di masjid, beliau kemudian menasihati seluruh para sahabat dan berkata

إن هذه المساجد لا تصلح لشيء من القذر والبول والخلاء

Sesungguhnya masjid ini tidak layak untuk suatu yang kotor, kencing, dan membuang hajat.” (HR. Muslim 429)

Dalam penjelasannya, Imam Nawawi menjabarkan bahwa “Adapun orang yang badannya terdapat najis; jika takut membuat masjid najis juga sama tidak boleh (masuk ke dalamnya).[11] Ternasuk orang yang membawa anak kecil yang belum jelas kesucian pakaiannya.”

Jika pakaian najis tersebut digunakan seorang anak, maka shalatnya tidak sah. Berdasarkan hadits Nabi dari Abu Said al-Khudri yang mengisahkan bahwa Nabi langsung menanggalkan sandalnya manakala diberitahu oleh Malaikat Jibril di bawahnya tertempel najis (HR. Abu Dawud, no. 650).

Hadits tersebut menunjukkan tidak sahnya orang yang shalat menggunakan pakaian najis dengan sadar.

Maka mayoritas ahli fikih mengiaskan orang yang menggendong anak yang di badannya ada najis dengan kandungan hadits tersebut sehingga juga turut membatalkan orang yang menggendongnya.[12]

Bahkan mazhab Hanafiah dan Syafi’iyah melarang secara khusus membawa anak kecil ke masjid manakala kemungkinan besar membawa najis[13] sebagai bentuk kehati-hatian.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada tiga faktor sumber najis anak kecil. Yaitu masalah sisa istinja’, sisa najis di dalam kulit zakar anak laki-laki yang belum dikhitan, dan kesucian baju anak-anak yang tidak terjamin bebas dari najis.

Ketiga hal tersebut mayoritas ahli fikih sepakat untuk kenajisannya. Oleh karena itu kepada para wali anak-anak hendaknya melihat tiga sisi tersebut sebelum membawa mereka ke masjid. Darinya dapat menjaga keabsahan shalat anak, begitu pula orangtua.

Bagaimana kategori “mengganggu” yang ditolerir syariat?

Dunia anak yang identik dengan dunia bermain merupakan hal yang wajar. Menghardik mereka lantaran mengganggu merupakan bentuk kekeliruan, sebab sejatinya mereka tidak mengerti apa pun selain bermain. Di sini-lah kemudian peran wali menentukan dan mengawasi, sebatas mana anak mereka bermain dan di mana mereka bergurau.

Manakala dibawa ke dalam konteks masjid maka lebih utama lagi untuk diperhatikan.

Al-Imam Nawawi berkata, “Boleh hukumnya berbincang-bincang dalam perkara mubah di masjid dari urusan dunia dan lainnya, meskipun menimbulkan tawa, selama masih dalam koridor mubah.”[14] Bagi seluruh jamaah masjid berbicara dengan topik duniawi meski tidak tepat tempatnya merupakan suatu yang diperbolehkan.

Termasuk di dalamnya anak kecil. Hanya sekedar bermain, tertawa sewajarnya dan berjalan ke sana kemari bukanlah hal yang dilarang.

Sang Imam Darul Hijrah, Imam Malik juga tidak menganggap masalah membawa mereka ke masjid. Namun poinnya adalah selama tidak mengganggu orang lain.[15] Sedangkan mengganggu dirinya sendiri dan walinya juga masih ditolelir berdasarkan hadits Hasan dan Husein di masjid.

Oleh karenanya selama itu mengganggu jamaah lain dalam beribadah maka dilarang keras meskipun dengan ibadah.

Disebutkan, ketika itikaf Rasulullah pernah menegur para pembaca Al-Qur’an yang membaca dengan keras seraya bersabda

ألا إنَّ كلَّكم مُناجٍ ربَّه ، فلا يُؤذِينَّ بعضُكم بعضًا ، ولا يرفعَنَّ بعضُكم على بعضٍ بالقراءةِ

Ketahuilah, sesungguhnya kalian semua tengah bermunajat dengan Rabnya. Oleh karena itu janganlah sebagian yang satu mengganggu sebagian yang lain, dan jangan pula sebagian orang mengeraskan suaranya terhadap sebagian yang lain dalam bacaan (Al-Quran).”[16]

Sedangkan gangguan yang ditolelir oleh syariat hanya gangguan suara tangisan anak kecil, selebihnya dari bentuk-bentuk permainan seperti berlarian ke sana kemari, berteriak, tertawa keras dari seorang anak maka tidak dapat dibenarkan. Karena tidak ada hadits yang membolehkan gangguan kecuali tangisan, beliau bersabda

«إني لأقوم إلى الصلاة، وأريد أن أُطَوِّلَ فيها، فأسمع بكاء الصبي فأَتَجَوَّزُ في صلاتي كراهيةَ أن أَشُقَّ على أمه»

Sungguh aku semula hendak mengimami shalat dengan bacaan yang panjang. Tetapi tiba-tiba aku mendengar tangisan anak kecil, sehingga aku pun memendekkan bacaan shalatku karena takut memberatkan ibunya.”[17]

Siapa yang paling bertanggung jawab atas anak kecil di masjid?

Hukum asal hak tanggung jawab anak sejatinya terlimpahkan kepada ayah selaku orang tua. Berdasarkan Hadits  “seorang laki-laki (Suami) ia bertanggungjawab penuh atas seluruh anggota keluarganya.” (HR. Bukhari: 2554)

Maka “wajib bagi ayah (utamanya) untuk mengajarkan adab dan mendidik anaknya dengan apa-apa yang dibutuhkan dari kewajiban agama.”[18] Ataupun kakek dan nenek sebagai sosok pengganti mereka, sebagaimana Rasulullah yang bertanggung jawab atas cucu beliau; Umamah, Hasan dan Husein ketika di masjid.

Jika tidak dari pihak orang tua maka tanggung jawab dilimpahkan kepada orang yang diamanahi untuk mendidik oleh orang tua, seperti kerabat dekat, orang yang dipercaya dan lembaga pendidikan. Kemudian sekiranya tidak ada satu pun yang menjadi penanggung jawab latas pemerintah menjadi wali bagi orang yang tidak memiliki wali (HR. Abu Dawud: 2083)[19]

Merekalah yang bertanggung jawab atas seluruh kebutuhan urusan anak dari pendidikan, pengajaran, adab, kebersihan dan pekerjaan. Termasuk di dalamnya; kata Imam Nawawi, adalah memerintahkan mereka untuk melazimi menghadiri Shalat jamaah.[20]

Juga mengajarkan adab-adab masjid dan menegur mereka dengan teguran yang menjerakan. Iez bin Abdus Salam mengingatkan; “Ketika teguran bisa dicapai dengan nasihat lisan dan tindakan minimalis maka tidak lantas ditindak dengan lebih keras, karena itulah hakekat mafsadat yang tidak ada faedahnya sama sekali bagi tujuan pendidikan.[21]

Selain orang tua, siapa yang berhak menegur anak kecil yang ramai?

Ketika orang tua tidak tahu menahu akan terganggunya orang lain dari anak kecil yang bermain, baik itu tidak sengaja ataupun yang timbul karena kurangnya kontrol, maka peran pihak yang berwenang menjadi acuan.

Dalam artian bahwa diperbolehkan bagi siapa pun yang memiliki kekuasaan, baik lingkupnya besar ataupun kecil untuk menegur anak-anak yang tidak terkondisikan dengan baik. Tentunya dengan koridor teguran yang bijaksana.

Maka boleh pemilik rumah menegur anak dari tamunya ketika berbuat tidak sopan, guru boleh menegur anak didiknya ketika di sekolah, dan imam ataupun takmir boleh menegur anak-anak ketika berbuat gaduh di masjid.

Hal tersebut berdasarkan atsar sahabat Umar bin Khatab yang menegur dengan keras orang yang berbuat gaduh di masjid, disebutkan

 وعن السائب بن يزيد الصحابي رضي الله عنه قال: كُنْتُ قَائِمًا في المَسْجِدِ فَحَصَبَنِي رَجُلٌ، فَنَظَرْتُ فَإِذَا عُمَرُ بنُ الخَطَّابِ، فَقَالَ: اذْهَبْ فَأْتِنِي بهَذَيْنِ، فَجِئْتُهُ بهِمَا، قَالَ: مَن أنْتُما – أوْ مِن أيْنَ أنْتُمَا؟ – قَالَا: مِن أهْلِ الطَّائِفِ، قَالَ: لو كُنْتُما مِن أهْلِ البَلَدِ لَأَوْجَعْتُكُمَا، تَرْفَعَانِ أصْوَاتَكُما في مَسْجِدِ رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ!

Dari Saib bin Yazid salah seorang sahabat Nabi. Ia berkata, “Suatu ketika aku berdiri di masjid lantas dilempar kerikil oleh seseorang, dan ternyata itu Umar bin al-Khatab.

Beliau berkata, “Pergilah dan bawalah dua orang itu.” Kemudian aku mendatangi Umar bersama keduanya, beliau kemudian berkata, “Siapa dan dari mana kalian berdua?”

Mereka menjawab, “Kami penduduk Thaif?” Umar membalas, “Kalaulah kalian dari penduduk sini (Madinah) aku akan hukum kalian dengan pukulan dan jilid, kalian itu mengangkat suara di Masjid Rasulullah.” (HR. Bukhari: 470)

Salah seorang pensyarh Shahih Bukhari; Badrudin Aini tatkala menyimpulkan hadits di atas berkata, “Dalam atsar tersebut terdapat dalil kebolehan imam mendisiplinkan orang yang mengangkat suara di masjid hingga mengganggu.”[22]

Termasuk dalam kategori tersebut adalah anak kecil yang bermain-main di masjid. Namun demikian, hendaknya takmir tidak sampai memukul anak kecil sebab dalam konteks cerita tersebut Umar tidak menghukum mereka berdua lantaran belum mengetahui hukumnya.

Demikian pula anak-anak yang notabene tidak tahu menahu akan adab-adab di masjid.

Di mana posisi anak kecil dalam shalat berjamaah?

Lazimnya, memang jamaah shalat dipisah berdasarkan gender. Laki-laki di depan dan perempuan di belakang. Adapun perihal anak-anak, hukum asalnya adalah sama dengan orang dewasa saat mereka telah menginjak usia mumayiz.

Tidak ada saf tersendiri yang dikhususkan bagi anak-anak. Demikianlah yang disampaikan oleh mayoritas fukaha selain dari kalangan Hambali. Hal itu berdasarkan hadits shahih yang menceritakan urusan saf dalam shalat. Disebutkan dari Anas bin Malik

أنَّ جَدَّتَه مُلَيكةَ دَعَت رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم لطعامٍ صنَعَتْه، فأكَلَ منه، ثمَّ قال: قومُوا فلأُصَلِّيَ لكم، قال أنَسٌ: فقُمتُ إلى حصيرٍ لنا قد اسوَدَّ مِن طُولِ ما لُبِسَ فنضَحْتُه بماءٍ، فقام عليه رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم وصفَفْتُ أنا واليتيمُ وراءَه، والعجوزُ مِن وَرائِنا، فصَلَّى لنا ركعتينِ، ثمَّ انصرَفَ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم

Bahwa neneknya, Mulaikah pernah mengundang Rasulullah untuk jamuan makan yang telah ia buat khusus untuk Rasulullah, dan Rasulullah menyantap jamuan tersebut. Kemudian beliau bersabda, “Berdirilah kalian, aku akan shalat bersama kalian.”

Anas berkata; “Lalu aku berdiri di tikar yang sudah berubah warnanya jadi hitam karena lama tidak dipakai, maka aku menyiramnya dengan air. Rasulullah segera berdiri dan aku berbaris dengan seorang anak yatim di belakangnya serta seorang perempuan tua (Mulaikah) di belakang kami. Beliau shalat dua rakaat kemudian pergi.” (HR. Nasa’i: 792)

Syekh Abu Abdul Muiz Muhammad Ali Farkus menjelaskan dalil kebolehan anak-anak masuk saf adalah berlandaskan pada hadits dari Anas bin Malik bahwa neneknya; Mulaikah pernah mengundang nabi.

Kata yatim dalam hadits tersebut umum mencakup semua anak kecil. Sebab pengertian yatim adalah anak kecil yang kehilangan bapaknya sebelum usia balig; tanpa ada pembedaan antara yang sudah mumayiz atau belum.

Meskipun demikian, hendaknya anak kecil yang belum mumayiz tidak diposisikan di antara orang dewasa untuk menghindari perbedaan pendapat para ulama.

Imam Syaukani menegaskan, “Anak kecil itu menutup celah kecil di ujung saf”[23] dan demikianlah di antara fungsi anak kecil dalam saf shalat. Yakni menutup celah saf yang tidak muat ditempati oleh orang dewasa.

Sedangkan anak yang telah mencapai batas mumayiz bahkan balig maka hak mereka sama dengan yang lain. Tidak boleh dipindah, digeser dan diusir bilamana ia menempati saf dahulu.

Lain halnya dengan pendapat jumhur fukaha, ulama Mazhab Hanbali berpendapat bahwa anak kecil yang belum mumayiz tidak boleh disatukan dengan jamaah yang lain.

Ibn Qudamah menjelaskan, “Tidak boleh satu saf bersamanya karena bukan kategori orang yang sah untuk berdiri di saf. Sebab ada tidaknya anak kecil tersebut maka hukumnya tetap sama yaitu dianggap tidak ada.”[24]

Jika mereka dianggap tidak ada maka saf shalat juga dianggap terputus dan tidak mendapatkan fadhilah jamaah. Anak kecil perempuan pun juga termasuk memutus saf shalat laki-laki menurut kesepakatan ulama.

Apakah anak kecil memutus saf?

Disebutkan dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda

أقيموا الصفوف، وحاذوا بين المناكب، وسدوا الخلل، ولا تذروا فرجات للشيطان، ومن وصل صفًا وصله الله، ومن قطع صفًا قطعه الله

Luruskanlah saf dan rapatkanlah pundak-pundak kalian. Isilah yang kosong dan jangan biarkan setan mengisi saf yang kosong. Barang siapa yang menyambung saf maka Allah akan menyambungnya dan barang siapa yang memutus saf maka Allah akan memutusnya (dari fadhilah, rahmat dan istijabah-Nya).” (HR. Abu Daud: 570)

Syekh Sholeh Bakirman, salah seorang tokoh senior Yaman menjelaskan bahwa yang dimaksud orang yang memutus saf adalah mereka yang membiarkan celah di saf (depan) sedangkan ia memilih saf akhir, atau membiarkan ada celah yang luas antara dirinya dan sampingnya.

Sedangkan kategori hal-hal yang memutus saf adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Qudamah, beliau berkata, “Barang siapa yang berdiri satu saf dengan seorang kafir atau orang yang tidak sah shalatnya, maka tidak sah saf jamaahnya, karena ada atau tidaknya ia memiliki hukum yang sama.”

Maka anak kecil yang belum mumayiz dan notabene tidak sah shalatnya karena banyak faktor termasuk yang memutus saf. Demikianlah pandangan Mazhab Hambali perihal urusan tersebut sehingga mereka berpendapat untuk memisah saf anak-anak di belakang.

Sedangkan jumhur ulama berpendapat anak kecil disela-sela saf dewasa tidak memutus saf. Hal ini dikarenakan tidak ada dalil yang secara sharih (tegas dan lugas) menjelaskan demikian.

Adapun perihal hadits Qurah bin Iyas al-Muzani yang mengisahkan larangan membuat saf di antara tiang-tiang di masa Rasulullah (Ibn Majah, 1002) hukumnya makruh menurut sebagian fukaha seperti Imam Ahmad dan Ishaq, tidak sampai derajat haram. Mayoritas ahlul ilmi yang lain juga tetap membolehkannya.[25]

Inilah kemudian yang menjadi kiasan para ulama untuk menghukumi anak kecil yang belum balig. Tiang sebagai benda mati saja tidak memutus saf jika masuk di sela-selanya. Maka lebih utama lagi anak kecil yang akan diamanahi beban syariat.

Mereka lebih utama untuk tidak memutus saf. Manakala tidak membuat celah lebih di antara para jamaah.

Syekh Sholih Munajid dalam hal ini menjelaskan bahwa masalah anak kecil yang shalat (di tengah saf) apakah memutus saf, beliau menjawab, “Tidak dianggap memutus saf karena jarak yang dekat.

Namun, hendaknya bagi para wali untuk tidak membawa anak seperti ini (yang belum balig) karena menyibukkan orang yang shalat. Baik menyibukkan orang lain karena kehadirannya atau menyibukkan walinya sendiri.”

Bolehkan anak kecil bermain di masjid?

Masa kanak-kanak memang tidak dapat dilepaskan dengan dunia bermain. Sudah menjadi tabiat mereka untuk selalu bermain. Di lain sisi terdapat anjuran mendidik mereka untuk shalat sejak dini. Oleh karena itu anak-anak tidak dapat disalahkan perihal bermain di masjid.

Salah seorang ahli hadits abad keempat Abu Abdullah al-Halimi pernah menuliskan, “Adapun anak-anak, setiap permainan yang menyibukkan mereka yang tidak ditakutkan bahayanya baik dekat ataupun jauh yang dikira dapat membuat hati mereka bahagia maka tidak boleh dilarang sama sekali.”[26]

Hanya, para wali-lah yang harus bijak mendidik dan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Jangan sampai karena tetap kukuh mendidik tanpa rasa bijak, yang semestinya terpuji justru masuk dalam sebuah kemungkaran.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Taimiyah, “Masjid harus dijaga dari segala gangguan yang mengganggu orang shalat, sampai sekedar anak kecil yang berteriak-teriak, mengotori karpet masjid dan lain sebagainya. Dan itu terlebih lagi ketika waktu shalat maka kemungkarannya lebih besar.”[27]

Bahkan, Imam Nawawi menyebut fenomena itu dengan bid’ah mungkar yang harus dijauhi. Disebutkan, “Diantara bid’ah mungkar adalah apa yang terjadi di sebagian besar negeri-negeri … termasuk banyaknya masjid yang digunakan sebagai tempat berkumpul anak kecil dan para pengangguran untuk bermain dan mengangkat suara.

Hal tersebut membuat rendah masjid, mengurangi kehormatannya, dan membuat kotor sekitarnya. Dan seterusnya dari segala hal yang wajib dijauhkan dari masjid.”[28]

Maka dapat disimpulkan dari nukilan-nukilan di atas bahwa anak-anak tidak diperbolehkan bermain di masjid jika mengganggu kekhusyukan beribadah jamaah yang lain, mengotori masjid secara fisik, dan melakukan hal-hal yang tidak semestinya dilakukan di masjid sehingga mengurangi kehormatannya.

Seperti berlari-lari, tabdzir air, teriak-teriak dan lainnya. Kepada para wali manakala anak mereka tidak dapat terkontrol apabila di bawa ke masjid hendaknya tetap di rumah dengan selalu mengajarkan adab-adab di masjid.

Demikian beberapa hal penting terkait membawa anak kecil ke masjid, semoga menjadi ilmu bermanfaat yang mampu membimbing kita untuk menggapai ridha dari-Nya. Wallahu a’lam.

Referensi

[1] Kasyaf al-Qona’: Manshur bin Yunus Buhuti (4:90).

[2] Al-Mughni: Ibn Qudamah (1:682).

[3] Mawahib Jalil: Khattab ar-Ruayni Maliki (2:479).

[4] Subulus Salam: Muhammad bin Ismail (1/141).

[5] Asnal Mathalib Syarhu Raudhatit Thalib: Syekh Zakariya Al-Anshari (3:108).

[6] Bahrur Raiq: Ibn Nujaim (1:254).

[7] Raudhatut Thalibin: Nawawi (1:68).

[8] Tamhid: Ibn Abil Iez (22/242).

[9] Hasyiyah bin Abidin (5/478).

[10] Asna Mathalib: (1/69), Nihayatu al-Muhtaj: Ramli (1/149),  Insaf: Mardawi (1/87).

[11] al-Minhaj Syarh Shahih Muslim: Nawawi (3/192).

[12] Hasyiyah Ibnu Abidin: (1/403), Al-Inshaf: Al Mawardi (1/488), Syarh az-Zurqani ‘Ala Mukhtashar al-Khalil: (1/71).

[13] Dur Mukhtar Syarh Tanwir Abshar: Ala’udin Hashkafi (1:89).

[14] Majmu’: an-Nawawi: (2/177).

[15] Mudawanah Kubra; Minah Jalil Syarh Mukhtashar Khalil: Muhammad Ulaisy (7:480).

[16] HR. Ahmad 3/94, Abu Dawud no. 1332, An-Nasa’i no. 8038.

[17] HR. Bukhari no. 868.

[18] Syarh Nawawi ‘Ala Shahih Muslim: an-Nawawi (8/44).

[19] Adab Syar’iyah: Ibn Muflih (1/451).

[20] Majmu’: an-Nawawi (3/11).

[21] Qowaid Ahkam: (2/75).

[22] Umdatu Qari Syarh Shahih Bukhari: (7/152).

[23] Nailul Authar: Syaukani (4/90).

[24] Syarh Kabir: Ibn Qudamah (2/67-68).

[25] Al-Jami’: at-Tirmidzi (1/443).

[26] Al-Minhaj fi Syu’abil Iman: al-Husain bin Hasan bin Halim (3/97-98).

[27] Majmu’ Fatawa: Ibnu Taimiyah (22/204).

[28] Majmu’: (2/177-178)



Post Terbaru

Khutbah Jum’at: Keutamaan dan Amalan di Bulan Dzulhijjah

Khutbah : Khutbah Jum’at: Keutamaan dan Amalan di Bulan DzulhijjahOleh (Santri PPMTQ Ali Bin Abi Thalib) Facebook Twitter Youtube Instagram ...

Bismillah menurut pendapat ulama ahli fiqih dan ulama ahli hadits

Fiqih : Hukum membaca Basmalah dalam sholat dengan pelan (sirr) atau dengan keras (jahr)Oleh (Ustadz Thoha Husein Al-Hafidz) Facebook Twitter ...

Apakah basmalah merupakan sebuah ayat alquran atau tidak?

Fiqih : Nikmat Terbaik Dunia AkhiratOleh (Santri Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Purbalingga) Facebook Twitter Youtube Instagram Whatsapp Khutbah ...

Akibat Menunda Taubat

Tazkiyah : Akibat Menunda TaubatOleh (Santri Ali Bin Abi Thalib Purbalingga) Facebook Twitter Youtube Instagram Whatsapp Dalam aksinya menggoda umat ...

Kiat Sederhana Memenangkan Hati Manusia

Tazkiyah : Kiat Sederhana Memenangkan Hati ManusiaOleh (Santri Ali Bin Abi Thalib Purbalingga) Facebook Twitter Youtube Instagram Whatsapp Islam tidak ...

Apakah Sabar Ada Batasnya?

Tazkiyah : Apakah Sabar Ada Batasnya?Oleh (Santri Ali Bin Abi Thalib Purbalingga) Facebook Twitter Youtube Instagram Whatsapp Sebagai amalan hati ...

Program Terdekat Kami

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
Assalamualaikum Kak 👋
Ada yang bisa kami bantu?